Melongok Desa Ngerangan di Klaten, Asal Muasal Kuliner Angkringan

Menikmati kuliner di sebuah angkringan, memang menjadi sesnsasi tersendiri. Pembeli duduk menghadap meja yang

by Kinan Riyanto



SUKOHARJOUPDATE - Menikmati kuliner di sebuah angkringan, memang menjadi sesnsasi tersendiri. Pembeli duduk menghadap meja yang penuh aneka makanan. Untuk varian nasi, semua dibungkus. Rata-rata nasi sambel bandeng, kering tempe, oseng kacang panjang, sambel teri, dan lain-lain.

Lauknya juga bervariasi. Dari tempe goreng sampai tusukan sate, aneka rambak, kerupuk, kacang goreng yang dikemas kecil-kecil, dan sebagainya.

Di atas meja angkringan, selain dipenuhi aneka makanan, juga ada ceret untuk wadah air. Coba diperhatikan, pasti ada tiga buah, ini cirikhasnya.

Baca Juga: Nafa Urbach Diteror Pinjol Padahal Tidak Meminjam, Loh Kok Bisa?

''Iya, cirikhasnya tiga ceret. Dua untuk air putih, satunya untuk mendidihkan jahe,'' kata Sarono, Ketua RW 1 Dukuh Sawit, Desa Ngerangan, Bayat, Klaten.

Ya benar, angkringan ini cikal bakalnya dari Desa Ngerangan. Sejak jaman dahulu, para leluhur warga desa ini sebagian besar menjadi perantau dan berjualan angkringan atau hik.

Diceritakan oleh Ratiman (60 tahun) warga Dukuh Sawit, dirinya berjualan angkringan di Kadipiro, Solo sejak tahun 1980 sampai sekarang. Namun karena pandemi dan urusan keluarga, dirinya berhenti dari berjualan sejak setahun yang lalu.

Baca Juga: Kiano Anak Baim Wong - Paula, Diduga Sakit Infeksi di Saluran Pencernaan

''Saya sudah berhenti berjualan angkringan sejak setahun yang lalu, karena ada urusan keluarga,'' kata Ratiman.

Dirinya menjelaskan, ia berjualan angkringan karena diajak bapaknya, Gito Sumarto yang kini sudah almarhum.

Kalau di rumah, dirinya bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh, membantu bertani tetangganya, atau pekerjaan lainnya.

Baca Juga: Awalnya Bekerja di Hotel, Karena Pandemi Pria ini Beralih Jadi Petani

Pelaku penjual lainnya yang sudah sepuh, Gimin Triyanto (80 tahun) menceritakan, dulu dirinya sudah berjualan angkringan sejak tahun 1945.

Area jualannya berkeliling dari Kadipiro, Joglo Sumber, Terminal Gilingan, dan lain-lain.

''Sejak geger-gegeran itu, saya sudah berjualan angkringan. Dulu masih harus berjalan kaki berkeliling, menawarkan dagangan sambil membawa tumbu besar kanan kiri, lalu dipikul,'' kata Mbah Gimin mengenang.

Baca Juga: Pria 45 Tahun Asal Magetan Meninggal Saat Naik Bersama Istri ke Puncak Gunung Lawu, Tiba-tiba Alami Kram Perut

Bila jualan sedang sepi, dirinya terkadang menarik becak. Yang penting dapur ngebul dan pulang membawa uang untuk keluarganya.

Pelaku usaha lainnya, adalah angkringan Sukimin (60 tahun) yang buka di depan BRI Cawas. Angkringan yang dikelola keluarga ini, mulai buka jam 15.00 WIB sampai jam 20.00 WIB karena mematuhi PPKM kala pandemi ini.

Pasutri Sukimin - Sarjinem ini sudah membuka usaha angkringan sejak belasan tahun silam. Di sini menunya lumayan komplit, ada aneka gorengan yang selalu panas.

Baca Juga: Menunggu Penguasa Baru Pura Mangkunegaran, Tiga Nama Menguat, Siapa Dia?

Dengan merogoh kocek Rp10.000, pembeli bisa menikmati minuman teh hangat, nasi dan aneka gorengan.

''Selama pandemi ini, alhamdulillah tetap ada pembelinya meski tidak seperti dulu. Kami harus mematuhi PPKM tutup jam 8 malam. Tapi sekarang agak longgar lagi, diperbolehkan buka sampai malam jam 9,'' kata Sarjinem.

Kepala Desa Ngerangan, Sumarno, wilayahnya memang terkenal tandus. Sebagai pekerja keras, banyak warganya yang merantau berjualan angkringan di kota-kota.

Baca Juga: Heboh, Foto Wajah Bonyok M Kece Usai Ditonjok Irjen Pol Napoleon Ramai Tuai Pro Kontra

''Sebagai potensi yang membanggakan, desa Ngerangan dicanangkan Bupati Klaten Sri Mulyani sebagai Desa Cikal Bakal Angkringan pada awal tahun 2020 yang lalu,'' tambah Kades Sumarno.

Untuk mengenang perjuangan para leluhur yang memperkenalkan angkringan di segala penjuru kota di Indonesia, di Dukuh Sawit ada museum angkringan.

Museum yang dikelola warga itu, berisi terikan tumbu, angkringan pikul, gerobak angkringan, aneka macam teh, foto-foto para leluhur, dan lain-lain.

Baca Juga: Pantau TNI Manunggal Rakyat di Plosorejo, Danrem Surakarta Terkesan Lihat Animo Vaksin Masyarakat Tinggi

''Mbah-Mbah kami sudah merantau ke kota berjualan angkringan sejak tahun 1930-an, awalnya memakai angkringan pikul. Ada gerobak sejak tahun 1943-an, begitulah sejarahnya,'' kata Sarono, Ketua RW 1 Sawit.

Sampai saat ini, kulineran di angkringan sudah menjamur di berbagai kota dan desa. Tidak hanya warga Desa Ngerangan saja yang kini berjualan angkringan. Hampir semua orang dari berbagai wilayah, ikut berjualan angkringan.***

 

Author : Kinan Riyanto

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Excepturi doloribus unde molestias laborum delectus adipisci, eos repellat in debitis cum impedit numquam, architecto, facilis.