Gerabah Tanah Liat Masih Bertahan di Desa Bentangan, Wonosari, Klaten

Memasuki Dukuh Bentangan, Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Jawa Tengah, kita akan disuguhi dengan pemanda

by Kinan Riyanto

SUKOHARJOUPDATE - Memasuki Dukuh Bentangan, Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Jawa Tengah, kita akan disuguhi dengan pemandangan warga yang sedang beraktifitas membuat gerabah atau tembikar.

Di jalan kampung banyak dijumpai jerami kering dan tumpukan tanah liat, sebagai bahan baku untuk membuat tembikar ini.

Jerami digunakan para perajin untuk mengganjal gerabah satu sama lain, agar tidak retak bila sedang dipacking.

Baca Juga: Kesadaran Masyarakat Dapatkan Vaksin Tinggi, Luhut Sesalkan Ada 41 Juta Dosis Belum Disuntikkan

Untuk membuat gerabah ini, perajin menggunakan alat namanya perbot (alat untuk memutar), kain bekas untuk lap, dan serat biasanya dari bekas rem.

Bahan bakunya dari tanah liat. Para pengrajin membeli dari warga yang biasa memasok mereka.

Menurut salah satu warga yang sampai sekarang masih bertahan, Ponirah (50 tahun), awalnya di kampung ini semua adalah pengrajin gerabah.

Baca Juga: Cerita Unik, Vaksin Ditunggui Presiden Tukang Pande Besi Bernama Joko Widodo di Klaten Mengaku Tidak Bisa Tid

Di sini memang sentra kerajinan gerabah. Satu-satunya di Kecamatan Wonosari, Klaten. Disebabkan berbagai faktor, usaha warisan nenek moyang ini mulai berkurang peminatnya.

Yang semula ratusan pengrajin, kini tinggal belasan saja yang bertahan, bisa dihitung dengan jari.

Ponirah mengaku bisa membuat gerabah sejak menikah dengan suaminya bernama Sudirman (55 tahun). Ia menikah sebelum usia 20 tahun.

Baca Juga: Cerita Unik, Kampung di Klaten ini ada 23 Pasangan Kembar, ini Faktanya

Gerabah yang ia buat bermacam-macam. Ada kuali, anglo, kendil, pot, kowi (tempat mencairkan emas), dan lain-lain.

''Saat ini yang banyak peminatnya adalah pot anggrek,'' kata Ponirah sambil memutar-mutar perbotnya.

Dulu saat gerabah masih banyak peminatnya, ia mempunyai pekerja banyak, sekitar 6 orang. Namun kini yang membantu dirinya hanya satu orang, namanya Sumiyati (60 tahun).

Baca Juga: Asik, Cukup Tunjukan Kartu Vaksin Naik Kereta Api Sekarang Jadi Mudah

Selanjutnya yang menjual ke pasar-pasar atau mengantar kepada pemesan, tugas suaminya.
''Jualannya jauh-jauh, ke pasar Bekonang, Solo, bahkan ke Magelang juga waktu itu.

Sekarang kami membuat hanya memenuhi permintaan pemesan saja,'' kata Ponirah.
Harga gerabah di sini masih murah. Antara Rp10.000 sampai Rp50.000 tergantung gerabah jenis apa yang diinginkan.

Dalam sehari, Ponirah dan Sumiyati bisa menghasilkan 100 buah gerabah. Dulu ketika tenaganya masih kuat, ia bisa menghasilkan 200 hingga 250 buah gerabah.

Baca Juga: Presiden Jokowi Tinjau Pelaksanaan Vaksinasi Door To Door Terhadap 500 Warga di Klaten

Para pengrajin senang bila cuaca panas dan musim kemarau karena matahari bersinar terus. Sebelum dibakar, gerabah-gerabah ini memang perlu dikeringkan dahulu.

Namun bila musim penghujan, para pengrajin merasa sedih karena tidak ada sinar matahari. Musim penghujan biasanya pasokannya menipis, tidak ada gerabah yang bisa dijual.

Di tengah gempuran aneka macam plastik, ternyata warisan leluhur berupa gerabah dari tanah liat ini, masih mampu bertahan sampai saat ini.***

Author : Kinan Riyanto

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Excepturi doloribus unde molestias laborum delectus adipisci, eos repellat in debitis cum impedit numquam, architecto, facilis.