SUKOHARJOUPDATE - Kasus meninggalnya Munir Said Thalib, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) akibat diracun sudah 17 tahun berlalu, namun hingga kini belum juga terungkap siapa dalangnya.
Sejumlah pegiat HAM dan LSM khawatir kasus itu akan kadaluarsa pada 2022 mendatang karena masuk kategori pembunuhan biasa, atau bukan pelanggaran HAM berat.
Desakan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar turun tangan disuarakan dalam peringatan 17 tahun meninggalnya Munir, pada Selasa 7 September 2021.
Baca Juga: Munir Meninggal Diracun 17 Tahun Lalu, Pengungkapan Kasusnya Makin Gelap Mendekati Kadaluarsa
Menanggapi kekhawatiran itu, praktisi dan Konsultan Hukum MBZ Keadilan dari Kota Solo, Badrus Zaman menyatakan kasus Munir tidak ada masa kadaluarsanya, masih bisa dibuka lagi.
"Menurut saya, itu tidak ada masa kadaluarsanya. Karena penyidikan sudah dimulai dan perkara itu tidak/belum di SP3," katanya saat ditemui, pada Rabu 8 September 2021.
Ia berpendapat, persidangan kasus Munir masih dapat dibuka kembali sepanjang ada temuan bukti baru diluar bukti yang sudah dimiliki penyidik.
Baca Juga: Komnas HAM Minta Menaker Serius Tangani Perusahaan Tahan Ijazah Asli Karyawan
"Kan penyidik sudah memiliki bukti. Nah, diluar bukti yang dimiliki penyidik itulah yang digunakan untuk mengajukan persidangan kembali," paparnya.
Namun begitu, mengingat waktu kejadian perkara pembunuhan Munir sudah lama, Badrus pun pesimis bukti baru itu akan ditemukan.
"Karena waktu kejadiannya sudah lama, maka akan membuat barang bukti baru susah ditemukan," kata pria mantan aktivis seangkatan Boyamin Saiman Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ini.
Baca Juga: Ungkap 5 Kasus Curanmor dalam 1 Bulan, Kapolres Sukoharjo Ingatkan Masyarakat untuk Waspada
Diluar bukti baru, menurut Badrus, kasus pembunuhan Munir yang terbukti diracun arsenic ini bisa dibuka kembali jika ada inisiatif dari penyidik.
"Tapi kalau menurut penyidik sudah tidak bisa dilanjutkan, ya mestinya harus di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan resiko akan muncul gugatan pra peradilan," bebernya.
Konsekuensi resiko itu, lanjut Badrus, harus diambil penyidik jika memang sudah punya dasar kuat sebelum menerbitkan SP3.
"Seandainya ada gugatan pra peradilan, ya nggak masalah. SP3 ini agar ada kepastian hukum. Karena kalau seperti ini kan nggak jelas," tandasnya.***
Sejumlah pegiat HAM dan LSM khawatir kasus Munir itu akan kadaluarsa pada 2022 mendatang karena masuk kategori pembunuhan biasa
by Triyanto