Kisah Mbah Tarwo, Saksi Hidup Masa Penjajahan Jepang Hingga Lolos dari Tahanan Tentara Belanda di Karanganyar

Perjuangan para pejuang mengusir penjajah tak perlu diragukan lagi banyak cerita yang masih dikenang para pejuang ini saat mengusir penjajah

by Dita Arnanta

SUKOHARJOUPDATE - Pengorbanan para pejuang dalam meraih kemerdekaan dari cengkeraman tangan penjajah meninggalkan banyak cerita heroik juga memilukan.

Tak sekedar harta dan benda, para pejuang bahkan harus rela mempertaruhkan nyawa mereka demi kemerdekaan bangsa dan negara tercinta yang seutuhnya.

Di antara banyak peristiwa para pejuang dalam membebaskan Tanah Air dari belenggu penjajahan, ada kisah perjuangan dibalik sosok renta Wagiman Tarwo atau Mbah Tarwo, seorang pria kelahiran Dusun Bekon, Desa Kaliwuluh, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar.

Baca Juga: Kisah Soegiono Eks Pejuang Tentara Pelajar di Sukoharjo, Kini Terbaring Sakit

Mbah Tarwo, adalah salah satu pejuang perang dan Legiun Veteran Republik Indonesia yang masih hidup hingga Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-76. Usia Mbah Tarwo, kini menginjak 92 tahun.

Mbah Tarwo bercerita, saat masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Tarwo kecil sudah sangat sering merasakan pedihnya siksaan penjajah, mulai dari dipukuli, ditendang bahkan diberi makanan yang tidak layak saat itu.

Untuk mengamankan pertahanan, Jepang menjadikan rakyat sebagai budak mereka, termasuk untuk membuat goa - goa sebagai tempat persembunyian. Di sejumlah daerah, masyarakat kini kerap menyebutnya Goa Jepang.

Baca Juga: Kala Peracik Bom Bali I Memimpin Eks Napiter Kibarkan Bendera Merah Putih di Gunung Sepikul Sukoharjo

Dibawah pengawasan tentara Jepang, Tarwo muda yang saat itu masih berumur belasan tahun, tak luput pula dari kerja paksa bersama penduduk desa lainnya.

"Saya mengalami menjadi budak pada jaman (kependudukan) Jepang. Saat itu, kalau tanda alarm sudah dibunyikan, saya disuruh tentara Jepang untuk mengajak serta orang - orang supaya masuk ke dalam goa, termasuk saya juga harus ikut masuk. Kalau sudah masuk goa, alarm itu dimatikan dan goanya ditutup. Itu (kejadian) kurang lebih tahun 1942," kenang Mbah Tarwo, sambil mengingat kembali peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam itu.

Semasa kerja paksa, rakyat yang dijadikan budak oleh tentara Jepang tak pernah sekalipun merasakan makan enak, bahkan bisa dibilang sangat jauh dari kata layak.

Baca Juga: HUT RI ke76, Megawati Mimpikan Indonesia Berdiri Hingga Ribuan Tahun

"Jaman dulu dikasih makannya nasi gogik (nasi sisa yang dijemur hingga kering), kadang nasi sisa campur jagung. Rakyat bisa makan enak dengan nasi beras kan baru setelah jaman sudah maju. Pakaian jaman dulu itu juga masih dari serat atau karung goni, celananya dari lulang," ucapnya.

Kekejaman masa penjajahan Jepang, juga berlaku terhadap kaum pelajar pada masanya. Tak ada belas kasihan, dikatakan Mbah Tarwo, setiap pertanyaan yang dilontarkan harus segera dijawab setepat dan secepat mungkin, jika tidak, kenut (tongkat penjalin) pun bisa melayang.

"Jaman penjajahan Jepang itu kejam. Anak - anak sekolah, termasuk saya, kalau sampai tidak bisa menjawab pertanyaan, disanksi seenaknya. Anak sekolah harus cepet - cepetan menjawab pertanyaan. Misalnya menghitung, dua kali dua sama dengan empat, tiga kali tiga sama dengan sembilan, kalau yang salah dan kalah cepat menjawab, ya dikenut," kata Mbah Tarwo.

Baca Juga: Peserta Terbatas, Upacara Hari Kemerdekaan RI Ke-76 di Sukoharjo Berjalan Khidmat

Mbah Tarwo juga berkisah, kali ini dia memberikan kesaksian betapa beratnya pengorbanan para perjuang pada masa penjajahan Belanda, tatkala armada kolonialis negara itu ingin menaklukkan kekuatan Jepang untuk menguasai Pulau Jawa saat itu.

Tarwo beranjak dewasa, pada usianya yang baru 15 tahun, dia pun harus ikut berjuang melawan tentara Belanda. Deru suara tembakan dan bom sudah menjadi hal yang tak asing di telinganya.

Dibawah seorang Komandan Regu bernama Sriyadi, sebut Mbah Tarwo, kala itu dia bersama para pejuang lainnya terlibat dalam aksi penghancuran sebuah jembatan untuk memutus akses darat para serdadu Belanda menuju markas mereka.

Baca Juga: Keren! Warga Lereng Gunung Lawu Bentangkan Bendera Raksasa Serta Bunyikan Sirine di Detik-Detik Kemerdekaan

"Di tempat kelahiran saya di Kaliwuluh, saya ikut komandan saya, saat itu Pak Sriyadi, dia komandan regu. Tepatnya di Grompol (wilayah sungai di Desa Kaliwuluh, Kecamatan Kebakkramat) dipasangi jembatan. Kemudian jembatan itu dihancurkan, supaya tentara Belanda tidak bisa lewat," jelasnya.

Pengalaman yang tak terlupakan lainnya, juga dialami Mbah Tarwo saat dia dan rekan - rekannya ikut memasang jebakan yang berhasil membuat tank - tank milik pasukan Belanda terjeblos. Aksi itu membuat musuh sempat kalang kabut, namun sayang dia tertangkap dan harus mengalami siksaan.

"Belanda kan punya markas di Gronong, (sebuah dusun di Desa Pulosari, Kecamatan Kebakkramat). Saya juga pernah tertangkap dan dibawa. Di markas itu, saya dijadikan bulan - bulanan. Waktu itu saya ikut memasang jebakan, saat tank - tank Belanda lewat lalu terjeblos, tentara Belanda kocar - kacir, kalang kabut. Saya lalu berusaha lari dan sembunyi di persawahan. Tapi akhirnya saya tertangkap dan saya ditendangi, diseret - seret sampai kaki saya terluka," beber Mbah Tarwo, sambil menunjukkan bekas luka yang pernah ia alami.

Baca Juga: Tugu Songo, Mengenang Pertempuran Sengit Sembilan Pemuda Lereng Gunung Lawu Melawan Tentara Belanda

Selama menjadi tawanan tentara Belanda, kata Mbah Tarwo, perlakuan tidak manusiawi telah dialaminya. Dia pun pernah dipaksa harus memakan nasi bercampur soda. Jika menolak, kerasnya sepatu serdadu Belanda telak mendarat ditubuh sebagai gantinya.

"Kalau sudah tertangkap Belanda ya begitu resikonya. Saya pernah dicaci maki Pakananmu tiwul tumbu, awan macul bengi melu nyerbu (Makananmu tiwul tumbu, siang mencangkul malam ikut menyerbu). Itu semua sudah saya rasakan, Adanya cuma serba tidak mengenakkan. Kecekel londho lara lapa (tertangkap Belanda menderita), disuruh kerja bakti, dipaksa makan nasi dicampur soda kaleng, kalau gak doyan atau sampai muntah, ya ditendang," kenangnya.

Tak sampai disitu, Mbah Tarwo bercerita saat dia dan para pejuang terjebak dalam sebuah penyerangan. Dia pun harus kembali tertangkap dan ditahan tentara Belanda di salah satu markas mereka di Dawung (Desa Kemiri, Kecamatan Kebakkramat) Namun, nasib baik berpihak kepada Mbah Tarwo. Untuk terakhir kalinya, Mbah Tarwo bisa melarikan diri setelah berhasil melumpuhkan seorang petugas jaga di markas tentara Belanda itu.

Baca Juga: Curahan Hati Pedagang Pasar Ngelano Karanganyar Saat Gelar Upacara HUT Kemerdekaan

"Di Dawung dulu juga ada markas Belanda. Saya juga pernah tertangkap saat malam. Saya ditahan lagi di markas, tapi saya bisa meloloskan diri. Waktu itu saya naik ke loteng pos penjagaan. Penjaganya saya tendang, lalu saya kabur menceburkan diri ke sungai. Saya minggat dan aman tidak tertangkap sampai sekarang," tuturnya mengakhiri kisah perjuangannya yang penuh resiko itu.

Pada usianya yang telah senja, Legiun Veteran Republik Indonesia berlencana NPV 10.084.371 itu, kini tinggal bersama istrinya, di sebuah rumah kontrakan di Cerbonan RT 03 RW 02, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.***

 

Author : Dita Arnanta

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Excepturi doloribus unde molestias laborum delectus adipisci, eos repellat in debitis cum impedit numquam, architecto, facilis.